Wednesday, September 15, 2010

Asal Usul Eksoplanet

Sekarang ini penelitian eksoplanet sedang berada pada masa keemasannya sejak ditemukannya eksoplanet pertama sekitar 18 tahun yang lalu. Belum lama ini para astronom juga berhasil memperoleh citra-citra eksoplanet tersebut, beserta atmosfer yang mereka miliki. Berdasarkan data ini mereka mulai memperkirakan bagaimana eksoplanet-eksoplanet ini terbentuk.

Citra Seniman tentang Eksoplanet

Secara umum planet terbentuk melalui dua cara, yaitu melalui proses akresi bersama dan melalui proses pembentukan piringan. Pada proses pertama bintang dan planet mengalami keruntuhan gravitasi secara independen tetapi karena mereka saling berdekatan akhirnya bintang dan planet tersebut menjadi terikat bersama-sama secara gravitasi. Proses kedua adalah yang berlangsung di tata surya kita, di mana materi yang berada dalam bentuk piringan tipis yang mengelilingi calon bintang runtuh dan menjadi planet. Kedua cara pembentukan ini memberikan karakteristik yang berbeda sehingga memungkinkan para ahli untuk memperkirakan proses pembentukan eksoplanet berdasarkan ciri-ciri orbit yang mereka miliki.

Seorang peneliti bernama Helmut Abt dari Kitt Peak National Observatory
mencoba meninjau berbagai karakteristik ini dan mencoba melakukan analisis dalam rangka menduga proses pembentukan planet yang mengelilingi sebuah bintang. ia juga melihat bahwa proses yang membentuk tata surya kita adalah proses yang unik, tidak terjadi di tempat lain.

Abt melihat bahwa parameter pertama yang membedakan kedua metode pembentukan planet adalah eksentrisitas orbit planet tersebut mengelilingi bintang pusatnya. Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang hubungan eksentrisitas dengan proses pembentukan planet-planet tersebut, ia membuat plot distribusi eksentrisitas pada 188 bintang ganda dan membandingkannya dengan satu-satunya sistem keplanetan yang pembentukannya melalui metode piringan, yaitu tata surya kita. Ia mendapatkan bahwa manakala bintang-bintang memiliki orbit dengan eksentrisitas rendah, maka tampak bahwa semakin tinggi eksentrisitas orbitnya maka bintang ganda yang ditemukan menjadi semakin sedikit.  Selanjutnya ketika Abt membuat distribusi 379 planet yang eksentrisitasnya sudah diketahui, ia melihat bahwa distribusi ini mirip dengan distribusi eksentrisitas bintang ganda.   

Selanjutnya ia juga membuat plot setengah sumbu panjang orbit bintang ganda dengan setengah sumbu panjang orbit tata surya kita, dan tampak juga bahwa distribusi ini mirip dengan distribusi yang dimiliki bintang ganda.

Kemudian Abt meninjau konfigurasi sistem bintang ganda tersebut. Sistem bintang yang memiliki 3 bintang biasanya berupa dua buah bintang yang memiliki orbit dekat dengan bintang ketiga yang orbitnya lebih jauh. Ketika hal ini ia bandingkan dengan yang dimiliki tata surya kita, ia mendapatkan hasil yang sama.  

Selanjutnya Abt meninjau jumlah unsur-unsur berat yang terdapat di objek yang lebih berat karena sudah banyak diketahui bahwa sebagian besar eksoplanet terbentuk di sekitar bintang-bintang yang kaya logam. Ia berpendapat bahwa awan pembentuk sistem keplanetan yang kaya logam merupakan satu syarat mutlak dalam model akresi bersama karena hal ini mempercepat proses keruntuhan sehingga planet-planet raksasa bisa muncul sebelum awan pembentuknya sepenuhnya lenyap karena bintang pusatnya menjadi semakin aktif. Ini berarti bahwa fakta bahwa sebagian besar eksoplanet berada di sekeliling bintang-bintang yang kaya logam mendukung hipotesis akresi bersama.

Semua hal ini mendukung hipotesis bahwa sebagian besar eksoplanet terbentuk melalui proses akrei bersama, dan pembentukan tata surya kita adalah sebuah pekecualian saja. Walaupun begitu, masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk bisa mendapatkan kepastian tentang hal ini karena ada kemungkinan bahwa hal ini adalah masalah  statistik yang diakibatkan oleh keterbatasan peralatan pengamatan yang sekarang dimiliki.

Very Large Telescope milik ESO Mendeteksi Adanya Badai Super Di Planet di Luar Tata Surya

eso1026a

HD209458b adalah sebuah planet di luar Tata Surya kita, yang bermassa 60% Jupiter, dan mengobrit sebuah bintang serupa Matahari yang berada pada jarak 150 tahun cahaya dari Bumi, pada konstelasi Pegasus.

HD209458b adalah sebuah planet di luar Tata Surya kita, yang bermassa 60% Jupiter, dan mengobrit sebuah bintang serupa Matahari yang berada pada jarak 150 tahun cahaya dari Bumi, pada konstelasi Pegasus.

Planet HD209458b mengitari bintang induk pada jarak hanya satu per dua puluh jarak Bumi-Matahari, dengan demikian, planet ini sangat panas, terpanggang oleh bintang induk, dengan temperature permukaan mencapai 1000 derajat Celcius pada sisi terangnya, dan pada sisi gelapnya menjadi sangat sangat dingin. Seperti juga di Bumi, perbedaan temperature menyebabkan adanya angin, dan fenomena angin tersebut terdeteksi pada planet tersebut, yang mengalir sangat kuat dari wilayah siang yang sangat panas mengarah pada wilayah malam yang lebih dingin. Angin yang berhembus dari pengukuran gas karbon monoksida tersebut tersebut diperhitungkan mencapai laju 5000 – 10000 km per jam.

Planet HD209458b telah diamati mengitari bintang induk selama 3,5 hari, dan selama planet tersebut berada di muka bintang induk, terhadap pengamat di Bumi; ditemukan adanya fraksi kecil cahaya yang tertapis oleh atmosfer planet. Tim pengamat dari Leiden University, the Netherlands Institute for Space Research (SRON) dari Belanda, dan MIT (Amerika Serikat), mempergunakan instrumen CRIRES spektrograf milik ESO (European Southern Observatory), telah berhasil mendapatkan adanya satu sidik jari penanda atmosfer planet tersebut. Dari pengamatan dengan peralatan CRIRES, dapat ditentukan kandungan karbon monoksida dengan presisi 1 bagian per 100000, guna penentuan efek Doppler.

Dari pengukuran tersebut dapat diukur kandungan karbon pada atmosfer planet, dan ditemukan bahwa H209458b merupakan planet yang kaya akan karbon, sebagaimana Jupiter dan Saturnus. Ini mengindikasikan bahwa planet tersebut mungkin terbentuk dengan cara yang sama seperti kedua planet tersebut. Selain itu, dari bagaimana pergerakan planet mengitar bintang induk, maka massa planet dapat ditentukan dengan cukup presisi.

 

Sumber : ESO, the European Southern Observatory

Satelit Jason-2 Pantau Perubahan Iklim Dunia

“Jason-2 akan mengumpulkan data yang lebih akurat sehingga para pakar cuaca dapat memprediksi perubahan cuaca dengan lebih tepat,” demikian tulis NASA.

Satelit Jason-2 diluncurkan pada pertengahan Juni lalu dari Vandenberg, California.
Satelit baru ini diharapkan mampu menghasilkan data yang lebih akurat mengenai perubahan permukaan air laut

Satelit memantau gelombang laut

Gambar 1. Satelit memantau gelombang laut

 

Satelit altimetri yang telah diluncurkan lebih dulu yakni TOPEX/Poseidon dan Jason 1. Poseidon adalah satelit altimetri pertama yang diluncurkan 1992. Sementara Jason 1 diluncurkan 2002. Seperti namanya, satelit Jason 2 merupakan kelanjutan dari Jason 1. Satelit Jason 2 dibuat oleh empat lembaga yaitu NOAA Amerika Serikat, NASA Amerika Serikat, CNES Perancis, EUMETSAT Eropa. Seperti satelit altimetri pada umumnya, Jason 2 juga memiliki radar altimeter yang berguna memantau tinggi permukaan laut. Satelit ini bekerja mengamati perubahan tinggi muka air laut dengan ketelitian hingga 4 centimeter.

Satelit Jason 2 dibuat oleh NOAA, NASA, CNES, EUMETSAT

Gambar 2. Satelit Jason 2 dibuat oleh NOAA, NASA, CNES, EUMETSAT

 

Data apa saja yang dapat diperoleh dari mengorbitnya satelit seharga 33 juta dolar atau sekitar 330 miliar rupiah ini? Data tersebut diantaranya: suhu muka air laut, volume air laut, dan tinggi permukaan air laut dunia. Jason 2 juga menghasilkan peta topografi dari 95 persen laut es dunia setiap sepuluh hari. Peta laut es di seluruh dunia sangat berguna untuk mendeteksi seberapa besar pencairan es dari waktu ke waktu.
Bagaimana prinsip kerja satelit Jason 2? Prinsip kerja Jason 2 sama dengan prinsip kerja pada satelit altimetri yaitu mengukur jarak vertikal dari satelit ke permukaan laut. Karena tinggi satelit di atas permukaan elipsoid referensi diketahui (lihat gambar 3) maka tinggi muka laut (SSH) saat pengukuran dapat ditentukan. Selisih antara tinggi satelit dengan jarak vertical merupakan nilai dari SSH.

Satelit Jason 2 menghasilkan data suhu dan tinggi permukaan air laut

Gambar 3. Satelit Jason 2 menghasilkan data suhu dan tinggi permukaan air laut.

 

Apa kaitan antara pemantauan laut dan perubahan iklim? “Laut menyimpan memori jangka panjang sistem iklim, perubahannya dari waktu ke waktu juga menggambarkan perubahan iklim,” ujar Mikael Rattenberg, direktur operasi Eumetsat. Menurutnya, pemahaman yang lebih baik mengenai laut dibutuhkan untuk mempelajari iklim dan dinamika atmosfer dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan dekade ke dekade berikutnya. Demikian seperti dikutip Kompas.com, 20 Juni.
Dengan demikian, informasi yang diperoleh dari satelit yang berorbit polar ini sangat dibutuhkan bagi penelitian mengenai iklim. Informasi seperti suhu permukaan laut (SST) sangat diperlukan sebagai data masukan untuk model iklim. Data tersebut juga penting untuk memprediksi terjadinya El Nino atau La Nina, badai atau siklon, dan sebagainya.

Informasi tinggi muka air laut dari satelit altimetri

Gambar 4. Informasi tinggi muka air laut dari satelit altimetri

Tuesday, September 14, 2010

Penemuan Baru Dari Masa Awal Pembentukan Gugusan Galaksi

Penemuan baru dari Spitzer Space Telescope milik Nasa mengungkapkan apa yang terjadi pada masa-masa awal pembentukan gugusan galaksi (galaxy cluster), yaitu saat terjadinya ledakan kelahiran bintang baru.

Penemuan baru dari Spitzer Space Telescope milik Nasa mengungkapkan apa yang terjadi pada masa-masa awal pembentukan gugusan galaksi (galaxy cluster), yaitu saat terjadinya ledakan kelahiran bintang baru. Fakta yang sangat mengejutkan dari penemuan tersebut adalah diketahuinya tingkat kelahiran bintang baru yang lebih tinggi pada pusat gugusan dibandingkan pada bagian pinggir gugusan. Keadaan ini berseberangan dengan apa yang terjadi di bagian semesta yang dekat dengan kita, di mana pusat gugusan galaksi menjadi pusara galaksi. Penemuan yang dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh Kim-Vy Tran dari Universitas Texas A&M, Station College, diharapkan dapat mengungkap banyak hal mengenai pembentukan galaksi yang sangat besar seperti itu.

Tran dan timnya menghabiskan waktu empat bulan terakhir untuk menganalisis gambar yang didapatkan oleh Spitzer, terutama melihat hampir 10 milyar tahun kebelakang pada jarak gugusan galaksi yang dikenal sebagai CLG J02182-05102. Setelah berbulan-bulan sejak penemuan gugusan tersebut dan fakta yang mengejutkan mengenai usianya yang relatif “muda”, tim ini berhasil menentukan bahwa gugusan galaksi ini menghasilkan ratusan hingga ribuan bintang baru setiap tahunnya. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan galaksi-galaksi yang relative dekat dengan kita.

 

Splitzer Space

Gambar kombinasi infra merah dari Spitzer Space Telescope milik NASA dengan cahaya putih dari Teleskop Subaru milik Jepang. Gugusan galaksi CLG J02182-05102 berada tepat di bawah pusat gambar.

Hal yang perlu dicatat dari penemuan ini adalah betapa banyaknya dari galaksi ini terlihat terang pada panjang gelombang infra merah yang terpanjang (terlihat merah pada gambar 1). Kilauan cahaya ini menunjukkan bahwa galaksi purba seperti ini masih aktif membentuk bintang, meskipun hanya pada pusat gugusannya.

Studi yang dilakukan oleh tim ini dengan melihat lebih jauh pada objek-objek jauh dapat mengungkapakan tautan yang hilang (missing-link) antara galaksi aktif dan yang tidak aktif di semesta yang dekat dengan tata surya. Penemuan ini juga mengindikasikan bahwa studi lebih lanjut mengenai gugusan galaksi ini pada rentang pergeseran-merah dalam analisis Doppler (red-shift) juga dapat sangat berharga untuk melengkapi pemahaman mengenai bagaimana galaksi massif seperti ini terbentuk sebagai fungsi dari lingkungannya.

Sumber: NASA dan Texas A&M University